Tatang M. Amirin; 3 Nopember 2010; 9; 16; 23; 28 Nopember 2010; 5 Desember 2010; 6 Januari 2011; 3 September 2011; 19 Mei 2012; 22 Maret 2014
(c) Hak cipta pada Tatang M. Amirin, 2010. Siapapun boleh mengutip tulisan ini, tetapi dengan menyebut penulisnya dengan jelas dan nama blognya, agar terhindar dari tuntutan tindak plagiarisme.
***Tatang M. Amirin kelahiran Maja Kaler, Majalengka. Sekarang dosen tetap di Universitas Negeri Yogyakarta.

PENDAHULUAN
Di “page” Bongkok-Ciremay sudah saya tulis, dalam bahasa Sunda, ihwal Kerajaan Talaga dahulu di Kabupaten Majalengka sekarang. Bikin penasaran dan “geregeten (geregeteun).” Yang menuliskan sejarahnya tidak jelas siapa mulai dan dari mana asal-usulnya. Lalu muncul dan dipakai saja dalam blog resmi Pemda Majalengka, sekaligus diambilalih oleh Wikipedia. Jadinya ya rada-rada tidak karuan juntrungnya, tidak jelas jejak-tapaknya, tidak pula runtut alurnya, belum lagi salah redaksinya.
Lucunya pula, hampir seluruh tulisan tentang Kerajaan Talaga itu selalu menyebutkannya sebagai sejarah Majalengka. Dengan kata lain, jika dibalik, sejarah Majalengka mesti dimulai dari Kerajaan Talaga, akan tetapi dibarengi pula dengan dongeng (legenda) Sindangkasih. Dan, ini yang sungguh-sungguh lebih lucu, tidak disertai dengan sejarah Rajagaluh. Jadi, ini sejarah Majalengka yang mana? Kabupaten apa kota Majalengka? Lebih sangat lucu lagi, tidak pernah ada (dalam blog resmi Pemda) disebutkan bahwa Kabupaten Majalengka itu merupakan perubahan nama dari Kabupaten Maja, dan bahwa Kabupaten Maja (Majalengka) itu pernah membawahi Palimanan, dan di Palimanan itu ada beberapa kerajaan jaman baheula. Sayang peta Karesidenan Cirebon kuno tahun 1857, yang membawahi Kabupaten Galo (Galoeh; Ciamis sekarang) di bawah ini tak begitu jelas.
Peta Karesidenan Cirebon, 1857
Yang menarik, saya temukan 7 Desember 2010, peta jaman Belanda, tidak jelas tahun berapa, tapi tentu masih awal sekali, yang menunjukkan bahwa di Majalengka itu yang “eksis” hanyaTalaga. Yakin pasti masih “berbau kerajaan.” Tidak ada Sindangkasih dan Rajagaluh. Sementara di wilayah Cirebon berderet nama-nama “kota,” salah satunya yang dalam kesejarahan Cirebon penting adalah “Moendoe.” Di wilayah Ciamis dan Tasikmalaya pun berderet nama kota-kota penting.
Nah, di mana itu letak persisnya Talaga? Coba tebak, karena posisi Gunung Ciremay tak begitu jelas. Tapi, perhatikan di sisi atas kiri Talaga, di situ ada Karansambon (pasti deh Karangsambung). Berderet pula “kota-kota” di tepian sungai Cimanuk di utaranya Karangsambung, ada (tak jelas) Maggan, Panongan, Tjikaro (Tjikaso?), Passa, Ginteeng (Gintoeng, Gintung?), dan Jati. Sementara “di bawah” Talaga ada Pulambitan, Tjiawi, Radjapola, Pangaragan, Pandjaloe, dan Kawali.
KABUPATEN MAJA DAN KABUPATEN MAJALENGKA
Nah, ini ada “rekonstruksi” peta Karesidenan Cirebon yang membawahi lima kabupaten, yang diolah dari M. R. Fernando. 1982. Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation Economy in Cirebon Residency from the Cultivation System to the End of First Decade of the Twentieth Century. Ph.D. Dissertation. Melbourne: Monash University, oleh Miftahul Falah sebagai bagian dari buku Sejarah Ciamis yang diterbitkan tahun 2005 oleh Pemkab Ciamis dan LPPM Universitas Galuh, Ciamis.
Sayang peta ini juga tidak memuat lengkap kecamatan-kecamatan di dalamnya. Selain itu, peta ini tidak menunjukkan ada “Kabupaten Bengawan Wetan” (dalam naskah lain disebut “Palimanan”). Jadi, sudah “hilang lagi” nama Kabupaten tersebut. “Palimanan” termasuk Kabupaten Maja (perhatikan peta yang menjorok ke wilayah Kabupaten Cirebon). Sementara itu, Indramayu yang tadinya tidak termasuk Karesidenan Cirebon sudah dimasukkan ke dalamnya.

Sebagai catatan, sambil terus berusaha melacak kembali naskah asli surat keputusan (besluit,staatsblad) pendirian Kabupaten Maja dan perubahannya menjadi Majalengka (sudah tertemukan, tapi “hilang lacak” lagi di internet), berikut dinukilkan penegasan bahwa sebelum ada Kabupaten Majalengka, ada Kabupaten Maja terlebih dahulu.
Deze residentie was door een besluit van de Heeren Commissarissen Generaal van den 5 Januarij 1819 in vijf regentschappen gedeeld te weten Cheribon Madja Galo Bengawan Wettan en Koeningan[Beschouwing der nederlandische bezittingen in Oost-Indie].
Karesidenan (Cirebon–Pen.) ini berdasarkan besluit (Surat Keputusan) Yang Mulia Komisaris Jenderal (VOC–Pen.) tanggal 5 Januari 1819 dibagi menjadi lima regenschaft (“kabupaten”), yaitu Cirebon (Cheribon), Maja (Madja), Galuh (Galo), Bengawan Wetan (Bengawan Wettan), dan Kuningan (Koeningan). Hati-hati, Galo (Galoeh) ini yang dimaksud wilayah Ciamis, saya pernah mengira itu Rajagaluh. Lihat peta Karesidenan Cirebon di atas.
Jadi, wajar jika beberapa ahli sejarah “meminta Bupati Majalengka” BERANI menyatakan bahwa HARI JADI KABUPATEN MAJALENGKA itu 5 Januari 1819, bukan 1490 (“Sindang Kasih Sugih Mukti”). Saya bilang “candrasangkala 1490″ itu “salah kedaden” (salah kejadian), wongSindangkasih itu sudah “sirna-ilang-langka-blinana” kok bisa malah menjadi sugih mukti. Ini karangan (dongeng) yang “terlalu mengada-ada” (maaf).
STOP PRESS!
Sebelum lanjut, bagi yang penasaran:
Silakan buka KABUPATEN MAJALENGKA: MELACAK JEJAK HINDIA BELANDA untuk mendapatkan informasi lebih banyak mengenai pembentukan Kabupaten Maja dengan ibu kota Sindangkasih[Maaf, rasanya, menurut analisis terakhir–Januari 2011, salah. Ibu kota Kabupaten Maja itu Maja!] dan perubahannya menjadi Kabupaten Majalengka dengan ibu kota Majalengka [nama semula daerah yang jadi “tempat kedudukan keregenan Majalengka” itu Sindangkasih]. Ada kutipan surat keputusan asli untuk keduanya, yaitu Kabupaten Maja lengkap dengan batas wilayahnya, dan perubahan nama Kabupaten Maja menjadi Kabupaten Majalengka, serta perubahan nama daerah yang sekarang dijadikan ibu kota kabupaten, yaitu Sindangkasih, menjadi Majalengka.
Silakan buka pula MAJA DAN MAJALENGKA JAMAN BAHEULA untuk melihat-lihat foto dan tulisan mengenai “wilayah” Majalengka jaman Belanda.
Dalam tulisan tersebut saya analisis ibu kota Kabupaten Maja itu Maja, ibu kota Kabupaten Majalengka itu Sindangkasih [lama], yang kemudian diubah nama menjadi Majalengka–bukan di desa Sindangkasih sekarang, tapi!
STOP PRESS LAGI!
Alhamdulillah, 5 Januari 2011, akhirnya, walau tidak lengkap, tertemukan peta-peta Nederlandsch Indie tahun 1842. Salah satu peta itu memuat pulau Jawa. Saya potong sebagiannya saja, yang memuat Karesidenan Cirebon, seperti berikut. 19 Mei 2012 saya lacak ulang peta tersebut. Tertemukan dan bisa diunduh dalam “high resolution” sehingga lebih jelas. Peta tersebut dibuat oleh Hinderstein dengan data dihimpun sejak 1825-1850. Data untuk peta ini tentu sebelum Maja berubah jadi Majalengka.
- KARESIDENAN CIREBON, HINDERSTEIN, 1842
Di dalam peta Karesidenan Cirebon 1842 itu ada Cheribon, Indramaijoe, Madja, Koeningan, dan Galoe. Bengawan Wettan sudah tidak tampak, sudah ada perubahan.
Peta tersebut saya potong lagi, khusus yang berkaitan dengan Kabupaten Maja. Seperti diketahui, Kabupaten Maja diubah menjadi Kabupaten Majalengka tahun 1840 (11 Februari 1840). Peta ini aslinya dibuat 1841, diterbitkan 1842. Jadi, perubahan nama Maja menjadi Majalengka itu belum lagi “masuk” ke dalam peta. Pembuat peta (mungkin di Belanda) belum tahu. Oleh karenanya masih ada “Madja” di dalam Keresidenan Cheribon.
Peta Kabupaten Maja dalam Karesidenan Cirebon, Hinderstein,1842. Wilayahnya ditandai dengan garis warna hijau.
Kabupaten Maja membawahi distrik Kedondong, Palimanan, Rajagaluh, Sindangkasih, Maja, dan Talaga
Di dalam Kabupaten Madja itu hanya ada dua kota penting (bulatan kecil) dengan nama (tulisan) Madja dan Telaga. Tidak ada yang lain. Tidak ada Sindangkasih, tidak ada Majalengka, tidak ada Kadipaten, tidak ada Jatiwangi, tidak ada Rajagaluh!
Jadi, ibu kota Kabupaten Maja itu pasti Maja, sesuai dengan nama Kabupatennya. Itu artinya bukan juga Talaga. Sebelum Kabupaten Maja ditetapkan, Talaga diakui keberadaannya sebagai “sebuah ketumenggungan bagian dari Kerajaan Galuh-Pakuan-Pajajaran” dan disebut pada saat itu (saat SK dikeluarkan) bahwa Talaga itu [tadinya] merupakan sebuah “regenschaft.” Ini termuat dalam SK pembentukan Keresidenan Cirebon yang memuat Maja sebagai regenschaft. Itu kenapa peta “kota” Talaga tercantum, walau Rajagaluh tidak, tidak tahu kenapa, padahal sama-sama disebut “regenschaft.” Mungkin karena “keturunan Talaga” masih “memerintah” Talaga, sementara “keturunan Rajagaluh” sudah tidak ada sama sekali.
Sekedar catatan, Junghuhn entah salah duga, entah memang benar-benar itu yang terjadi, menuliskan nama ibu kota Kabubaten Majalengka itu Sindanglasi (Sindangkasih) yang ditambahi tulisan Maja Lengka dalam tanda kurung. Tampaknya hendak menyatakan bahwa ibu kota baru (pindahan dari Maja) Kabupaten Majalengka itu Sindangkasih yang kemudian diubah menjadi Majalengka. Harap dicatat: bukan Sindangkasih ganti nama, sebab Sindangkasih masih ada.
Peta “Kota Majalengka = Sindangkasih” Versi Junghuhn. Catatan: Ada nama “aardolie” dekat Gunung Wangi. Itu Cibodas, lokasi pertama pengeboran minyak bumi (aard = bumi, olie = minyak) di Indonesia
Dengan lebih cermat membaca besluit perubahan nama Kabupaten Maja menjadi Majalengka, dapat disimpulkan bahwa desa (kota) “Majalengka” itu tadinya bernama Sindangkasih. Dengan besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda 11 Februari 1840 desa “tempat kedudukan keregenan Majalengka” yang saat itu (Belandanya “thans”) bernama (“genaamd“) Sindangkasih diubah menjadi Maja Lengka. Jadi, bukan tadinya (sejak dahulunya) bernama Majalengka.
Nah, tambah bingung, kan?! Bingung lagi, kota Telaga bertanda belah ketupat bertitik dan berwarna merah, sementara Majalengka hanya bertitik, tapi tidak berwarna merah. Dapat diduga karena “kota Talaga” (seperti juga Kuningan) merupakan kota bersejarah, kota salah satu “ketumenggungan Pajajaran” yang bernama Talaga. Di kota Talaga (saat itu—setelah dijadikan ibu kota, pindahan dari tempat lain) masih ada “pemerintahan Ketumenggungan Talaga” [Raffles, 1860-an- menyebutnya Tumung’gung de Telaga]. Karena itu maka “wilayah” itu disebut orang dengan Talaga.
Sementara itu (perhatikan kembali peta Junghuhn–berikut dinukilkan lagi yang lebih lengkap), jalur jalan besar (raya) tergambar dua garis dari Sindanglasi (Madja Lengka) ke Madja itu melalui “Sukahaji” (tampaknya, karena tidak ada tulisan apapun). Dari Majalengka ke Madja dan ke Telaga hanya jalan kecil. Itu artinya apa?
(1) Jika Residen “Cheribon” akan melakukan inspeksi ke ibu kota Keregenan Madja, dan sebaliknya, jika Bupati (Regen) Maja hendak menghadap ke Residen Cirebon, jalur itu merupakan jalur yang terpendek, yaitu dari Cirebon lewat Banjaran (sekarang Parapatan?), Rajagaluh, Sukahadji, baru ke Maja. Lagipula, kenapa harus lewat “Sindanglasi,” karena di samping terlampau jauh, Sindanglasi bukan apa-apa. Sindanglasi baru menjadi “apa-apa” setelah jadi “Madja Lengka” dan dijadikan “tempat kedudukan keregenan.”
(2) Ketika ibu kota Kabupaten Maja dipindahkan ke Sindanglasi (yang kemudian baik ibu kota maupun nama kabupatennya diubah menjadi Majalengka), maka jalur jalan dari Sukahaji ke Sindangkasih (Majalengka) pun dibuat menjadi jalan raya (tergambar pada peta Junghuhn yang dibuat di atas tahun 1840 setelah perubahan kabupaten terjadi). Selanjutnya disambungkan (menjadi jalan raya) ke “Kadipaten” (sekarang, tidak tahu ketika itu namanya apa), lalu ke Karangsambung, untuk jalur hubungan ke Sumedang. Karangsambung menjadi kota penting tempat penyeberangan (menyebrangi sungai Cimanuk) dari Sumedang ke Cirebon. Jalur jalan rayanya tentu tidak seperti yang sekarang (Tomo-Kadipaten).
(3) Jalan dari Madja ke Talaga tetap dibiarkan jalan kecil. Maka, simpulannya, dari dua kota yang ada seperti tergambar dalam peta Kabupaten Maja itu, bukan Talaga yang menjadi ibu kota Kabupaten Madja, melainkan Madja. Jika ibu kota Kabupaten Madja itu di Telaga, pasti jalan dari Cheribon ke Telaga akan dibuat menjadi jalan raya, tidak berhenti sampai Maja saja.
Harap pembaca tidak melihatnya dari sudut jalan raya yang ada sekarang, sebab jalur Majalengka-Cigasong-Maja sekarang lebih ramai dibandingkan jalur Sukahaji-Maja. Junghuhn (1860-an) melukiskan keramaian dan kepentingan jalur jalan itu pada masanya, masa “ketika dan setelah Kabupaten Maja.”
Jadi, berdasarkan dua peta di atas, dapat ditarik simpulan lain, yaitu bahwa ibu kota Kabupaten Maja yang tadinya di Maja, ketika perlu dipindah dari Maja, maka nama ibu kota “tempat kedudukan keregenan” dan kabupatennya harus diubah, bukan Maja lagi. Akan tetapi, tampaknya, ketika kemudian terpilih “desa” Sindangkasih, tidak disepakati namanya jadi Kabupaten Sindangkasih. Terlampau banyak daerah yang bernama Sindangkasih (di Karawang kemudian merupakan regensi; masih ada pula di Beber Cirebon, dan Ciamis). Yang disepakati kemudian adalah masih menggunakan kata “maja,” tetapi harus ditambahi, agar tidak tetap Maja, karena ibu kotanya sudah tidak di Maja lagi.
Dari berbagai pilihan nama “maja—” (misal: majaasri, majaloka, majapura, majalegi, majalaya dsb.), akhirnya dipilih kata Majalengka, mengambil-alih nama lain dari Kerajaan Majapahit yang sudah jarang dipakai lagi oleh Majapahit, dan tidak ada satu pun daerah lainnya yang menggunakan nama itu. Majapahit itu nama lainnnya Majalengka, selain suka disebut pula dalam bahasa Sansekerta dengan Wilwatikta (wilwa atau vilva itu sama dengan bhilva, alias maja; tikta itu artinya pahit).
Begitulah, ketika ibu kota Kabupaten Maja dipindahkan dari Maja ke Sindangkasih, maka nama “tempat kedudukan pemerintahan” (menurut bahasa besluit Gubjen Hindia Belanda) dari kabupaten yang bernama baru menjadi Majalengka itu, pun diubah pula dari tadinya (saat perpindahan itu) bernama Sindangkasih menjadi Majalengka, biar sesuai dengan nama kabupaten atau keregenannya.
Kenapa masih ada nama desa Sindangkasih di Majalengka?
Sindangkasih dan Majalengka Jaman Belanda [Jalur jalan raya dari Cijati ke Majalengka Ke Sindangkasih ke Kulur; belum ada ke Cigasong–kanan Sindangkasih tertera Tjiga-]
Kemungkinannya kota Majalengka itu semula bernama Sindangkasih (berada di, atau merupakan bagian dari, desa atau wilayah Sindangkasih), seperti dipetakan Junghuhn. Nama daerah “desa/kota” Sindangkasih yang dijadikan tempat kedudukan pemerintahan Kabupaten Majalengka itu diubah jadi Majalengka (11 Februari 1840). “Desa/kota” Majalengka itu merupakan pemisahan dari desa (wilayah) Sindangkasih semula. Sindangkasih (desa) yang bukan “desa/kota” Majalengka itu menjadi satu desa juga, tetap bernama Sindangkasih, dan menjadi bagian dari “Kecamatan Majalengka.”
Mari kita perjelas.
(1) Pada saat Pemerintah Belanda menghendaki ibu kota Kabupaten Maja dipindahkan dari Maja, dicarilah tempat yang dianggap ideal. Tempat ideal yang terpilih itu adalah bagian sebelah utara-barat dari desa Sindangkasih ketika itu. Wilayah ini kemudian ditetapkan dipisahkan dari desa Sindangkasih dengan penamaan baru, yaitu akan mengikuti nama kabupatennya.
(2) Oleh karena ibu kota Kabupaten Maja dipindahkan, maka perlu dicari nama lain pengganti nama Maja sebagai nama kabupaten. Pilihannya tetap menggunakan nama “maja” tetapi dengan tambahan lain. Dari berbagai tambahan nama itu terpilih nama “pahit” (maja pahit), tetapi tidak boleh sama dengan nama kerajaan Majapahit, karena akan membuat kisruh. Lalu diambil nama lain maja pahit yaitu maja lengka (lengka artinya pahit), dan nama itu digunakan pula untuk menyebut Kerajaan Majapahit, tetapi sudah jarang disebut-sebut lagi.
(3) Oleh karena nama kabupatennya Majalengka, maka wilayah (daerah) yang tadinya merupakan bagian dari desa Sindangkasih itu, sekarang diubah nama menjadi “desa” (kota) Majalengka yang dijadikan ibu kota Kabupaten Majalengka (11 Februari 1840).
(4) Desa Sindangkasih yang wilayahnya sudah dikurangi oleh “desa Majalengka” tetap bernama Sindangkasih. Selain itu ditetapkan pula (kemudian) desa Sindangkasih itu menjadi bagian dari Kecamatan Majalengka (tahun berapa, masih perlu dilacak).
Selanjutnya, seperti diketahui, “desa/kota” Majalengka pun dimekarkan pula menjadi Majalengka Kulon dan Majalengka Wetan. Kecamatan Majalengka pun, sekarang, sudah dimekarkan pula menjadi Kecamatan Majalengka dan Kecamatan Cigasong.
Itu jalan logika analogi pemekaran desa Sindangkasih menjadi Sindangkasih dan Majalengka. Desa Sindangkasih (satu desa) dimekarkan (11 Februari 1840) menjadi dua desa, yaitu desa Sindangkasih dan desa Majalengka. Yang dijadikan tempat kedudukan keregenan Majalengka–yang tadinya merupakan bagian wilayah “desa” Sindangkasih–diberi nama baru “desa” Majalengka. Itulah kenapa dalam peta Junghuhn nama desa Sindanglasi (Sindangkasih) itu diberi tanda kurung Maja Lengka. STOP: Jadi, yang benar nama desa itu Sindangkasih atau Sindanglasi (seperti dituliskan Junghuhn)? Tapi, kata “lasi” tidak jelas artinya. Namun demikian, kata “kasih” pun dalam bahasa Sunda (lama) tidak tahu pula apakah ada, yang ada “asih,” bukan kasih.
NAH, “ENGKAU KETAHUAN,” NAMA MAJALENGKA ITU BUKAN KARENA ” MAJAE LANGKA,” TAPI KARENA BESLUIT BELANDA! Dongeng Nyi Rambut Kasih itu dibuat setelah sekian tahun dari 1840, mungkin lima puluh atau tujuh puluh tahun kemudian (1900-an), ketika orang tidak tahu arti kata “maja lengka”—karena kerajaan Majapahit tidak pernah disebut-sebut lagi bernama lain Majalengka–dan tidak tahu lagi jalan ceritera perubahan nama Sindangkasih menjadi Majalengka, tapi masih tahu ada ceritera tadinya bernama Sindangkasih. Dan, tentu juga, karena “orang Majalengka” merasa perlu punya “sejarah kerajaan.” Padahal tidak pernah ada yang bernama “Kerajaan Majalengka” selain Majapahit.
JADI, JUGA, BERDIRINYA KOTA MAJALENGKA ITU 11 FEBRUARI 1840!
LANJUT….
Nah, akhirnya, Sabtu 28 Nopember 2010, kebetulan saja saya sadari bahwa “peta” Karesidenan Cirebon 1857 itu ternyata bisa “diutak-atik.” Akhirnya dapat saya potong-potong, dan ini hanya “Kaboepaten Madja Lengka” saja yang disajikan.
Kaboepaten Madja Lengka itu terdiri dari enam bagian “kawedanan(?),” yaitu (lihat angka romawi dalam peta): (1) Madja Lengka, (2) Leuwimoending, (3) Djatiwangi, (4) Palimanan, (5) Madja, (6) Telaga. [Beda dengan kawedanan berikutnya, ya! Yang saya ingat, dulu Kawedanan Majalengka mencakup Kecamatan Kadipaten, Majalengka, dan Maja]. Warna “kuning-coklat” tebal dalam peta itu menunjukkan batas wilayah kabupaten. Ini keadaan sekitar tahun 1857, setelah nama kabupaten dari Madja berubah menjadi Madja Lengka.
Selain itu, hampir tidak pernah tercatat sejarah-sejarah daerah Majalengka lain di sebelah utara: Kadipaten, Jatiwangi, Jatitujuh, Ligung–dan juga Leuwimunding. Padahal ada salah satu desa yang tercatat sebagai “kota” persinggahan “jalan raya kuno” dari Pakuan (Bogor) menuju Kawali lewat jalur utara, yaitu desa Karangsambung, Kadipaten. Tapi, jika Palimanan masuk ke Kaboepaten Madjalengka, Djati Toejoe malah masuk Indramajoe.
Nah, biar sementara “sejarah Kabupaten Majalengka” numpang dulu di tulisan ini, ini peta lain Kabupaten Majalengka, sudah diedit (potong) dari peta Jawa Barat.
Distrik yang ada di Kabupaten Majalengka itu, nomor dalam peta, adalah: (9) Majalengka, (10) Rajagaluh, (11) Jatiwangi, (12) Palimanan, (13) Maja, (14) Talaga.
Jauh sebelumnya (1730-an) wilayah Cirebon itu seperti dalam peta berikut. Peta ini juga hasil memotong (kroping) dari peta Jawa Barat. Yang mengherankan, nama Talaga tidak ada, yang ada justru Parakan Muncang. Entah ada apa pada tahun itu. Parakan Muncang itu ada di sebelah barat kota Majalengka sekarang, kalau bukan Parakan Muncang Sumedang–sedang dilacak terus. Nama kota Majalengka belum ada.
Peta berikut menunjukkan Kabupaten Majalengka dalam Karesidenan Cirebon pada tahun 1931-an. Kabupaten Galuh sudah menjadi Ciamis dan tidak masuk lagi ke Karesidenan Cirebon. Kawedanan dalam Kabupaten Majalengka ada empat, yaitu (urut nomor dalam peta): (17) Majalengka, (18) Talaga, (19) Rajagaluh, dan (20) Jatiwangi.
Kembali ke tahun 1857. Dalam peta “potongan” dari peta karesidenan Cirebon 1857 di bawah ini, Tomo disebut sebagai “fort” alias pelabuhan (port–Inggris). Tentu pelabuhan sungai, yaitu pelabuhan sungai Cimanuk. Jika peta tersebut diperbesar, maka akan tampak jalur jalan dari Tomo atau Karangsambung ke Majalengka, Rajagaluh dan ke Maja serta Talaga. Ternyata tidak mengikuti jalur jalan seperti sekarang.
Jalan raya Kadipaten Talaga itu (lihat peta di atas dan di bawah ini) melalui Tjidjati, Madjalengka, Sindangkasih, Koeloer (Kulur), Tjiri (Cieurih), Pasanggrahan, Angrawati, Lentak (Lentuk atau sekarang Karangsari), terus ke Tegaltjawat (Tegalcawet), Tjilintjing (Calingcing) baru ke Wanahajoe (Wanahayu) dan ke Telaga (Talaga).
Jalur lainnya dari Sindangkasih ke Koeloer, lalu ke Kerta Kasoeki (Kertabasuki), Sindang Kerta, Madja (Maja), Soekasari (Sukasari), Segara (Sagara), lalu ke Wanahajoe (Wanahayu) terus ke Telaga. Atau, dari Madja (Maja) ke Lentak (Lentuk atau Karangsari), ke Tegaltjawat (Tegalcawet), ke Tjilintjing (Calingcing), terus ke Wanahajoe (Wanahayu), baru ke Talaga. Tapi, dari Wanahayu itu harus lewat jalur Soeka Menak (Sukamenak) dan Hawor Gelis (Haurgeulis), baru sampai ke Telaga (Talaga).
Jalur lainnya (“setapak”) lewat Tjiri (Cieurih) ke Pasanggrahan, Angrawati, Noenoek (Nunuk), lalu ke Soeka Menak (Sukamenak). Jalur ini dapat ditempuh pula dari Panjaran (Banjaran) ke Angrawati, terus ke Noenoek juga.

Jalur Jalan Raya Jaman Pajajaran di Wilayah Majalengka
Seperti telah disebutkan, Karangsambung disebut-sebut sebagai “kota persinggahan” dari Pajajaran ke Kawali lewat jalur utara. Dari Pakuan (Bogor sekarang) lewat Karangsambung ini orang Pajajaran biasa ke Galuh (Kawali) lewat sisi utara Gunung Ciremay. Jika mengikuti ceritera Bujangga Manik–nanti dipaparkan di bawah, walau Bujangga Manik tak menyebut Karangsambung–kota-kota atau daerah yang dilewati itu adalah Hujung Barang, Pada Beunghar, Pakuan, Timbang, Kuningan, Darma lalu sampai ke Kawali (lewat Cikijing sekarang–dulu tidak ada disebut nama “desa persimpangan ini”). Mungkin mampir ke Lurah Agung jika mau. Maaf tidak saya sebut Rajagaluh dan Sindangkasih karena dalam catatan Bujangga Manik tidak ada.
Melalui jalur barat Gunung Ciremay dari Karangsambung naik ke Walang Suji (Talaga) terus ke Kawali. Bisa juga–dengan menyebut daerah-daerah Kerajaan Talaga yang tidak disebut Bujangga Manik–dari Karangsambung terus ke Nunuk (istirahat “ngangin” di bawah kerindangan pohon nunuk alias beringin) terus ke Cihaur dan Walang Suji, terus ke Kawali. Maaf, saya tidak menyebut Sindangkasih yang biasa disebut-sebut dalam “jalur jalan raya kuno Pajajaran” (dalam arti menurut keadaan yang ada sekarang), karena dalam catatan Bujangga Manik tidak ada. Paling-paling lewat “desa-desa kecil Kerajaan Talaga” (menurut dongeng Talaga), yaitu Kulur (di sini bisa makan buah kulur alias kelewih atau timbul atau sukun, dan istirahat pula di “kebun raya Kerajaan Talaga” alias Tajur), lalu ke Maja, Jerokaso, Cihaur, lalu Walang Suji.
SINDANGKASIH DAN MAJALENGKA
Dongeng Sindangkasih itu terjadi sebagai “legenda,” dongeng tentang suatu tempat, kata orang Sunda “sasakala”–bukan “sakakala” (walau dalam tulisan lain dianggap sama). “Sasakalaberasal dari bahasa Sunda yang berarti riwayat atau sejarah , tapi hanya dongeng semata. Misalnya Sasakala Tangkuban Parahu, Sasakala Situ Bagendit, dan sebagainya.
Kenapa ada sasakala (legenda) Kerajaan Sindangkasih? Karena “kebetulan” dalam babad Cirebon sering disebut-sebut “wong Sindangkasih,” dan di Majalengka ada nama desa Sindangkasih. Jadilah seolah-olah daerah yang disebut-sebut dalam babad Cirebon itu Sindangkasih Majalengka. Babad Cirebon diceriterakan di mana-mana, dibacakan di mana-mana, sampai pada telinga orang Majalengka, lalu diceriterakan lagi ke anak cucu, dan berubah “isi” Sindangkasih Beber Cirebon menjadi Sindangkasih Majalengka.
Kebetulan–mungkin, tidak pasti bersumber dari ini–ada pula ceritera nama putri Ki Gedheng (Ki Gedhe ing–) Sindangkasih (di Kerajaan Surantaka–tapi “rajanya” punya embel-embel nama Sindangkasih) yang bernama Nyi Ambet Kasih. Terbuatlah ceritera bahwa di Kerajaan Sindangkasih Majalengka itu ratunya bernama Nyi Ambet Kasih. Tertukar pula dengan “dongeng lain” tentang Nyi Runday Kasih isteri Sunan Talaga Manggung raja kerajaan Talaga. Namanya jadi berubah pula atau disinonimkan, yang “ngarunday” (memayang-mengurai) itu rambut, jadilah Nyi Ambet Kasih disebut pula sebagai Nyi Rambut Kasih, putri cantik yang “rambutna ngarunday.” Klop kacaunya (Maaf, itu bukan mustahil; namanya juga legenda, bukan sejarah).
Ini cuplikan yang berkaitan dengan Sindangkasih (Sidangkasih) dalam Babad Cirebon. Ada yang sengaja ditebalkan karena penting.
Dandanggula
Gedeng Tegal gubung sira
matur alon hing Jeng Suhunan Jati
karsanira wau ngideppenna
Sindangkasi masimogu
munggiya Jeng Sinuhun
amaringi idin Jeng Gusti
Sunan Jati patarossan
hing Pati Kerring wau
sapira baya ta sira
hing rempuge iku Dalem Sindangkasih
matur kang dinukking sabda.
matur alon hing Jeng Suhunan Jati
karsanira wau ngideppenna
Sindangkasi masimogu
munggiya Jeng Sinuhun
amaringi idin Jeng Gusti
Sunan Jati patarossan
hing Pati Kerring wau
sapira baya ta sira
hing rempuge iku Dalem Sindangkasih
matur kang dinukking sabda.
Inggih rempag yaktos Sidangkasih
dereng idep wau gama Islam
mengga balane sakabeh
Jeng Sunan mala sampun
wus maringi idin sireki
amangkat Ki Gedeng Tegal
Gubug mintar sampun
samaptaning wong ayuda
wus angrasuk sakaprabonningajurit
sinigeg hing lampahira.
dereng idep wau gama Islam
mengga balane sakabeh
Jeng Sunan mala sampun
wus maringi idin sireki
amangkat Ki Gedeng Tegal
Gubug mintar sampun
samaptaning wong ayuda
wus angrasuk sakaprabonningajurit
sinigeg hing lampahira.
Pangkur
Kocap Gedeng Susukan
sadjanipun purwane andingini
lakune wong Tegal guso ya
enggon lumakuhing prang
seja nira Sindangkasih kan jinujug
Dalem Digja wus uningnga
den arah hing idep Muslim.
sadjanipun purwane andingini
lakune wong Tegal guso ya
enggon lumakuhing prang
seja nira Sindangkasih kan jinujug
Dalem Digja wus uningnga
den arah hing idep Muslim.
Mangka Dalem Digja sira
sinewaka sagongging para Mantri
dalame digja mangke maewus
lah sira den prayetna
hing tekane musuh mosset aja cenguk
sedenge babarana banteng ulu Sindangkasih.
sinewaka sagongging para Mantri
dalame digja mangke maewus
lah sira den prayetna
hing tekane musuh mosset aja cenguk
sedenge babarana banteng ulu Sindangkasih.
Gedeng Susukan tan bisa
amiyak balabar waring
lir kuta wesi ika
pan ategu keker hing waring
wing Sindangkasih kalangkung
gumentur swaranira
yen Susukan amimpes hin jayanipun
wong Susukan mere saja
monongton alaju hari.
amiyak balabar waring
lir kuta wesi ika
pan ategu keker hing waring
wing Sindangkasih kalangkung
gumentur swaranira
yen Susukan amimpes hin jayanipun
wong Susukan mere saja
monongton alaju hari.
Munggu Purba wicaksanan
melehaken ingkang sanggup angidepi
kocappa salajuhipun
Gedeng Tegalgubug sira
moiwa ingkang saka wula bala nipun
kang waring sampun winiyak
larutte wong Sindangkasih.
melehaken ingkang sanggup angidepi
kocappa salajuhipun
Gedeng Tegalgubug sira
moiwa ingkang saka wula bala nipun
kang waring sampun winiyak
larutte wong Sindangkasih.
Lumajeng Sang Dalem Digja
pan kalangkung wau giris hing gali
sidakep emutte ulun
bedahe kang wasiyat
nulya muja hing Dewa nuhun pitulung
kumpuling garwa santana
arah ambles maring bumi.
pan kalangkung wau giris hing gali
sidakep emutte ulun
bedahe kang wasiyat
nulya muja hing Dewa nuhun pitulung
kumpuling garwa santana
arah ambles maring bumi.
Muwa kang subawa putra
sigra musuh kang subawa prapti
Sangyang Dalem sirandulu
hing musuh ora bisa ya
pedekkan wara Dalem samya tumut
Putri loro kang kacandak
nama Raros lawan Riris.
sigra musuh kang subawa prapti
Sangyang Dalem sirandulu
hing musuh ora bisa ya
pedekkan wara Dalem samya tumut
Putri loro kang kacandak
nama Raros lawan Riris.
Kacandak sakalihora
wau dateng Tegalgubug sami
ana guru swaranipun
aja tambu besuk ana
bumi jebug ya hing Sidangkasih iku
apesse kang watek jaya
duriyat ting wong lino ewih.
wau dateng Tegalgubug sami
ana guru swaranipun
aja tambu besuk ana
bumi jebug ya hing Sidangkasih iku
apesse kang watek jaya
duriyat ting wong lino ewih.
Dumadi salin paparab
nganggo ambek bidakwalaka nuli
tan paji nganak putu
darmane kang kelingan
mung samono iku hing wawangsis ipun
wong Tegalgubug miharsa
agung gegetunning ngati.
nganggo ambek bidakwalaka nuli
tan paji nganak putu
darmane kang kelingan
mung samono iku hing wawangsis ipun
wong Tegalgubug miharsa
agung gegetunning ngati.
Sigra mangkat wangsulliran
Tegalgubug hing sabalaniki
wong Susukan ngiring sampun
lampanya duduluran
wong Sindangkasih sakabih tan nana kantun
den kerid arsa ngaturena
maing Kanjeng Susuhunan Jati.
Tegalgubug hing sabalaniki
wong Susukan ngiring sampun
lampanya duduluran
wong Sindangkasih sakabih tan nana kantun
den kerid arsa ngaturena
maing Kanjeng Susuhunan Jati.
Sindangkasih menurut babad itu belum Islam. Dalem Sindangkasih belum Islam. Sindangkasih yang mana, tak jelas. Ini bukan Sindangkasih “miliknya” Ki Gedheng Sindang (Sedang) Kasih, yaitu Sindangkasih Beber karena masa Ki Gedeng itu sudah tidak ada pada masa Sunan Gunung Jati. Ini Dalem Digja. Putri-putrinya Raras dan Riris. Bisa jadi Sindangkasih Beber juga, masa kemudian setelah Ki Gedeng Sindangkasih. Yang jelas bukan Sindangkasih Majalengka (kalau dongeng legenda benar), karena penguasanya seorang Dalem (Dalem Sindangkasih alias Dalem Digja–sebutan ini pun bisa salah, karena tak jelas makna “dalem digja” yang ditulis di atas), bukan ratu (Ratu Nyi Rambut Kasih). Tetapi bisa jadi juga ini memang Sindangkasih Majalengka (peta Belanda menuliskannya Cundanglassi) yang berkedudkan di Sindangwasa, Palasah, sekarang, bukan di Sindangkasih “Babakan Jawa.” Penguasanya (saat itu) bukan seorang ratu, melainkan seorang dalem, Sang Dalem Digja. Sindangwasa artinya sindang(sendang, sedhang–Jawa = kolam mata air) yang mengandung minyak (wasa–bahasa Sunda kuno atau Kawi = minyak atau berminyak).
Legenda Sindakasih-Majalengeka dibuat karena ada nama Majalengka yang aneh di telinga orang Sunda. Dikait-kaitkanlah Sindangkasih Babad Cirebon itu dengan Majalengka, “maja” yang “langka” dengan kesalahan menganggap “langka” bahasa Cirebon itu sama dengan “leungit” (hilang), padahal “langka” artinya “beli nana” alias “teu aya” (tidak ada), “leungit mah basa Cerbone ilang, Cung.” Padahal Majalengka (Mojolengko) itu nama lain dari Majapahit (Mojopahit). Lawannya majalengka itu majalegi (mojolegi), majamanis. Nama desa Mojolegi banyak terdapat di “Jawa,” antara lain di Imogiri Bantul, Paree Kediri, Boyolali, dan Mojokerto. (Kata “lengka” berarti pahit dapat dilacak di Kamus Jawa Kawi – Indonesia krangan Maharsi — baca juga Babad Kabupaten Pati).
STOP! Maja lengka alias maja pahit itu tampaknya berenuk, yang tak bisa dimakan karena pahit, sementara buah maja yang bisa dimakan namanya maja legi (legi = manis), yang seperti markisa.
Kembali ke sejarah Majalengka. Logisnya, mestinya ya runtutlah mulai dari adanya Kerajaan Talaga (karena abadnya lebih awal), lalu ditambah dengan Rajagaluh (karena nyatanya dalam beberapa ceritera memang ada), baru (kalau yakin ada) dengan Sindangkasih, sampai dengan Kabupaten Maja yang konon beribukota Sindangkasih (sekali lagi, itu salah, ibu kotanya di Maja!), dan Kabupaten Majalengka.
Nah, saya ingin coba buat lacakan sejarah Majalengka. Ada “page” khusus untuknya berjudul “Sejarah Majalengka.” Di dalamnya akan termuat banyak ragam (bunga rampai) tulisan mengenai “sejarah” Majalengka. Satu “page” lagi diperuntukkan untuk tulisan tentang Kerajaan Talaga ini.
Tulisan tentang Kerajaan Talaga ini, tadinya sangat panjang sekali dengan satu judul Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik. Karena terlampau panjang, maka saya potong-potong menjadi beberapa bagian, dinomori (sementara) 1 – 9. Per bagian dapat dibaca sendiri-sendiri, jadinya. Itulah keuntungannya.
Catatan Akhir:
Kabupaten Majalengka itu ternyata pernah menjadi bagian dari Karesidenan Indramayu; alias, Karesidenan Indramayu terdiri atas Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengka. Sementara itu Karesidenan Cirebon hanya terdiri atas Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan. Sayang peta yang memuat pembagian seperti itu belum bisa “dicuri” (Hehehe…). Peta pada aslinya di blog yang memuat bisa diperbesar, tetapi ketika dikutip tidak bisa, jadi kecil sekali. Sedang diusahakan bisa dikutip.
Tambahan 19 Mei 2012: Berikut peta-peta terkait Majalengka, Sindangkasih, Talaga dan lain-lain.
Di peta tersebut ada nama “Cundang Lassi.” Diduga itu dimaksudkan Sindangkasih. Tapi letaknya di timur sungai, di utara arah jalan raya (postweg) Karangsambung – Cirebon. Jadi, sekarang menjadi apa? Dugaan kuat itu sekarang jadi Sindangwasa. Nama yang mirip, tapi Belanda tak mungkin salah tulis karena “wassa” tidak sebunyi dengan “lassie.” Lagipula dalam beberapa tulisan sejarah (dokumen Belanda) tulisannya selalu Cundanl;assie, Sindanglassie, Sindangkassie, Sindangkasi, atau Sindangkasih.
Di peta tersebut ada Sindangkasih, tapi terletak di utara Majalengka. Tidak tertera kota lainnya: Maja, Talaga, Jatiwangi, Rajagaluh, Leuwimunding dll. Sindangkasih masa lalu kotanya bukan di Majalengka sekarang! Majalengka dahulunya termasuk wilayah Sindangkasih, tetapi Sindangkasih Sindangwasa. Ketika Kabupaten Majalengka (perubahan dari Kabupaten Maja) berdiri, Sindangkasih (Sindangwasa) masih digambarkan ada.
Di peta Mollin 1858 ini yang ada malah hanya Talaga. Terkait Rafles, karena di Ketumenggungan Talaga (Tumung gung de Telaga) Rafles banyak temukan peninggalan sejarah. Mungkin begitu. Ini peta historis.
Pada peta Crawfurd, 1820, ini pun yang tertera hanya Talaga. Ada Karangsambung sebagai kota penyebrangan dari Sumedang ke Cirebon.
Peta di atas dibuat (terbit) tahun 1930. Sengaja diambil sepotong dari lengkap peta Pulau Jawa. Ini juga peta historis. yang dituliskan Kawali (jadi pusat kerajaan sekitar 1350) dan Talaga.
INGIN TAHU LEBIH DALAM SEJARAH MAJALENGKA, SAYANG SAYA TIDAK PUNYA SEJARAHNYA. INI SEJARAH SANGAT MEMBANTU BAGI ANAK CUCU KITA. INI BUKTI BUKAN CERITA MITOS. KEBANYAKAN CERITA SUATU DAERAH HANYA CERITA GAIB SAJA TIDAK MEMAKAI BUKTI OTENTIK.TERIMA KASIH ATAS SEJARAHNYA
BalasHapus