Tatang M. Amirin; 7 Januari 2011; 3 September 2011; 13 September 2011
MELACAK SITUS DAN PENINGGALAN KERAJAAN TALAGA
(Ini bagian yang dipotong dari tulisan panjang “Kerajaan Talaga: Melacak jejak Bujangga Manik”–agar tak terlampau capai membacanya; dimulai dari yang paling akhir, sehingga sementara ditulis nomor 9, sekedar nomor paling akhir dari 1-9, agar yang lainnya bisa muat pakai nomor urut).
Peninggalan (pusaka) Talaga sekarang sebagian tersimpan di Museum Talaga Manggung, Talaga. Sayang, karena saat lebaran, saya dan istri tak bisa masuk ke dalam meliohat-lihat isinya.
Pengantar
Saya termasuk orang yang tidak percaya orang-orang Sunda tidak bisa membuat candi atau keraton dari bahan bebatuan atau batu bata. Sekarang sudah mulai ditemukan berbagai situs candi dan pemukiman di wilayah Jawa Barat, tertimbun tanah. Candi di situs Rajegwesi, Ciamis, misalnya, hanya terlihat sebagai bukit kecil (pasir leutik) yang sudah ditumbuhi belukar dan pepohonan.
Jadi, di wilayah-wilayah Talaga yang berbukit-bukit itu perlu “dicurigai” ada tinggalan serupa itu. Siapa tahu, ada “tatapakan” karaton yang sudah tertimbun tanah. Gunung Ciremay pernah meletus dan memuntahkan lahar yang relatif besar pada abad XVIII, seperti dicatat Balai Taman Nasional Gunung Ciremay berikut.
Letusan pertama Gunung Ciremai tercatat terjadi pada 3 Februari 1698. Pada waktu itu, digambarkan sebuah gunung besar di Cirebon telah roboh dan menyebabkan permukaan air di sungai-sungai mendadak naik sehingga menyebabkan korban jiwa, tanpa data jumlah korban yang jelas.
Gunung Merapi yang meletus beberapa kali Oktober-Nopember 2010 ini sudah menghancurkan beberapa desa di sekitar Merapi. Rumah tembok saja hancur, apalagi rumah gedek (bilik, bambu) luluh lantak.

Karena ketidaktahuan, orang bisa pula menghancurkan lingggayoni dan artefak batu-batuan lainnya. Siapa tahu di “Argalingga” (arga = gunung; lingga = seacam tugu; pucuk gunung lingga) itu ada lingganya yang entah ada di mana.
Karena tidak tahu dan tidak mengira, bisa saja batu seperti di bawah ini tidak dianggap batu bersejarah, padahal itu patung tanpa kepala.
Situs dan “Poesaka” Tinggalan Kerajaan Talaga
Juru kunci (kunen) Situ Sangiang ada mengatakan kepada seseorang katanya keraton Talaga itu ada di Situ Sangiang. Jika situ sedang agak kering, bebatuan bekas keraton itu tampak. Ah, yang benar?! Kenapa tidak dicek! Apakah itu “bebatuan buatan”?
1. Patung Budha dari Talaga
Di sini diulang lagi, ada tiga patung peninggalan Kerajaan Talaga, menurut informasi Sandy, dari neneknya di Talaga. Tiga-tiganya, mudah-mudahan benar, sudah tertemukan fotonya oleh saya. Ketiganya adalah “Wajrapani”, lalu “Manjuwajra”, dan “Budha.”
(dalam “Blog” lain–13 September 2011– disebut juga sebagai Prabu Siliwangi)

[13 September 2011–dalam “blog” lain (Kerncollectie Fotografie, Museum Volkenkunde) disebut pula sebagai Simbar Kencana]
Patung-patung (foto) lain yang ditemukan di internet 13 September 2011 dari Kerncollectie Fotografie, Museum Volkenkunde adalah sebagai berikut.
Ambet Kasih
Dalam “Sejarah Cirebon” Ambet Kasih ini merupakan putri Ki Gedheng (Ki Gedhe ing) Sindangkasih, Beber, Cirebon, yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi. Kenapa patungnya (dan patung Prabu Siliwiangi) ada di Talaga? Ada hubungan apa antara Sindangkasih (Ambet Kasih) dan Talaga, itu yang belum terlacak.
Baju besi (baju perang)?
Raden Panglurah
Siwa
Susuhunan Talaga Manggung
2. Pintu gebyog dan pintu tunggal (dari Kerajaan Talaga?)
Sedikit demi sedikit tinggalan Kerajaan Talaga itu alhamdulillah mulai saya temukan. Di Museum “Batavia” ada (foto?) “pintu gebyog” (pintu besar dan lebar), yang terbuat (tampaknya) dari kayu jati, muncul di internet. Tidak jelas pasti, memang, apakah itu pintu gedung keraton Talaga. Yang pasti, dalam tulisan di foto itu jelas-jelas ditunjukkan itu berasal dari Talaga (“door from Talaga, Cheribon”).
Yang satu ini pintu ruangan biasa, bukan “pintu utama.” [Maaf, salah tulis di dalam gambar; jika diklik]. Juga dari Talaga. Perhatikan tulisan yang ada di atas dan di bawah gambar. Perhatikan pula ornamen hiasan yang ada pada daun pintu ini. Di bagian atas ada lukisan burung (merpati, tanda kedamaian–?). Di tengahnya ada raksasa membawa gada (Dwarapala–penjaga gerbang–?). Di bagian paling bawah ada gambar kepiting (salah satu dari zodiak Talaga, “Calicata”).
UFFF, MAAF, JIKA DITELITI DI BAWAHNYA TERNYATA BUKAN DARI TALAGA, TAPI DARI CAKRA NEGARA, LOMBOK! SALAH AMBIL KARENA MUNCUL DARI DERETAN TINGGALAN TALAGA DI INTERNET. JADI TULISAN DI ATAS HARAP DIANGGAP TIDAK ADA!
Jadi, simpulannya, keraton Talaga itu tampaknya berupa keraton yang jelas-jelas megah pada (untuk) jamannya. Sayang seperti apa bentuknya dan di mana letaknya, masih tanda tanya. Namun demikian, keturunan Talaga perlu cek pintu itu, punya rumah siapa (saat jaman Belanda), ataukah memang turun-temurun disimpan karena itu “poesaka Talaga.”
Nah, para “pengelola Museum Talaga Manggung” (Tumung ‘gung de Talaga–menurut Raffles–jadi “Katumenggungan Talaga”, bukan “Karajaan Talaga”), tampaknya perlu membuat replikanya untuk dipasang sebagai “pintu utama gedung museum.” Termasuk (jika memang tidak punya) tiga patung Budha poesaka Talaga, yaitu: (1) “Bodhisattva” atau “Vajrapani“, (2) “Manjuvajra” (“Batara Guru”), dan (3) Budha yang sudah saya temukan “fotonya” dari internet.
3. Naskah lambang zodiak Talaga
Terlacak pula dari tulisan Raffles dua “lukisan” dari Talaga yang menggambarkan lambang-lambang zodiac dan “pasaran” (tampaknya mengikuti gaya Mataram: Pon, Wage, Kaliwon, Legi, Pahing). Lukisan zodiac yang menurut mitologi Yunani, dan dibahasalatinkan menjadi Virgo, Pisces, Scorpio, Leo, Aquarius dsb. itu lukisannya beberapa mirip, kendati penamaannya berbeda (mengikuti bahasa Sansekerta alias India).
Tulisan dari Raffles berbahasa Perancis di bawah lukisan zodiac Talaga itu berbunyi “Fac Simile des Signes du Zodiac tire d’un ancien Manuscrit apt in Tumung’gung de Telaga a Cheribon.” (Lambang-lambang zodiak yang terdapat dalam naskah kuno dari Tumung ‘gung Talaga [Katumenggungan Talaga–Pen.], Cirebon).
Nama-nama Zodiac tersebut, menurut Raffles sebagai berikut.
The signs of the Zodiac as represented in the ancient MS (Midlle-centuries Sundanese-?–Pen.) at Telaga in Cheribon compared with the Indian are as follows the figures being very correctly drawn and names with the explanation annexed to each [Lambang-lambang perbintangan atau zodiak yang dilukiskan dengan bahasa Sunda Pertengahan dari naskah di Talaga Cirebon itu jika dibandingkan dengan yang ada di India sebagai berikut, dst.]. Tulisan sudah diedit penulis–dengan melacak pula zodiac Yunani dari Wikipedia–menjadi tabel sebagai berikut.
Istilah India (Sanskerta) | Istilah Talaga | Zodiak Yunani (Latin) | Arti |
Mesha | Misa | Aries | Biri-biri |
Vrisha (Vṛṣabha) | M’risa | Taurus | Banteng |
Mithuna | M’ri Kogo (kupu-kupu) | Gemini | Kembar |
Carcata | Calicata | Cancer | Kepiting |
Sinha | Singha | Leo | Singa |
Cunya | Canya | Virgo | Gadis, kania |
Tula | Tula | Libra | Neraca |
Vrishchica | Privata | Scorpion | Kalajengking |
Danus | Wanu | Sagitarius | Jemparing |
Macara | Macara | Capricornus | Kambing-laut |
Cumbha | Cuba | Aquarius | Tempayan |
Mina | Mena | Pisces | Ikan, mina |
Sebagai perbandingan, berikut simbul-simbul zodiac Yunani (dari Wikipedia), baik yang masih dalam bahasa Yunani maupoun yang sudah dilatinkan.
Zodiac digambarkan dalam lukisan, itu biasa. Yang tidak lazim (jarang diketahui) ternyata hari-hari pasaran pun ada gambarnya.
Tulisan yang ada di bawah lukisan itu berbunyi “Fac Simile des signes representant les divisions du jour et les Pasar ou jours de marche … Tire d’un Manuscrit, appartenant a Tumung’gung de Telaga a Cheribon.” (Lambang-lambang hari dan pasaran yang terdapat dalam naskah dari Tumung’gung Talaga [Katumenggungan Talaga–Pen.], Cirebon).
Catatan: Kenapa Raffles selalu menuliskan “Tumung’gung de Telaga” dalam naskahnya? Ada kaitan apa dengan sebutan “Talaga Manggung”? Kenapa pula tulisannya “tumung ‘gung” bukan “tumunggung”? Apakah “tumung ‘gung” itu sebenarnya singkatan dari “tumung agung”? Atau sebutan lain dari Tumenggung, atau Demang Agung? Jangan-jangan Sunan Talaga Manggung itu “kebalikan sebutan” dari Sunan Tumenggung Talaga. Dalam salah satu naskah jaman Belanda tertemukan kebingungan menyebut: Prang Wangsa atau Wangsa Prang, sehingga dua-duanya disebut atau dituliskan Prang Wangsa of (atau) Wangsa Prang. Jadi, berlaku pula untuk nama Tumunggung Talaga atau Talaga Tumunggung (Sebutan Tumunggung atau Tumenggung kemudian berubah–mungkin karena naskah rusak–menjadi terbaca hanya Manggung).
5. Pintu masjid Talaga
Satu lagi “temuan” saya, ini pintu mesjid Talaga abad ke-19 (1863-1864–tampaknya tahun “dimuseumkannya” atau “ditemukannya”). Tidak tahu mesjid di wilayah “Telaga, Madjalengka” yang mana. Hanya itu yang bisa diketahui dari sumbernya, Tropenmuseum.
Alhamdulillah, betapapun, “bari jeung leukeun mah,” sedikit demi sedikit sejarah Majalengka yang “kosong melompong” itu akan juga terisi, dengan benar, tentu! Mulai dari Talaga dulu, siapa tahu lainnya terkuak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar