GUNUNG BITUNG
Panorama Gunung Bitung |
I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelaksanaannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional. Warisan budaya nasional atau warisan budaya bangsa adalah cermin tingginya peradaban bangsa. Dan salah satu ciri bangsa besar adalah bangsa yang mampu menghargai dan melestarikan warisan budaya nenek moyang kita. Semakin banyak budaya warisan budaya masa lampau yang bisa digali dan dilestarikan, maka sudah semestinyalah peninggalan budaya tersebut makin dihargai. Peninggalan sosial budaya haruslah dilestarikan agar dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya untuk menambah wawasan dan pengetahuan, juga untuk menanamkan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa Indonesia. Untuk itu, team "Museum Talagamanggung Online" membuat artikel yang berjudul “Situs Gunung Bitung”.
1.2 TUJUAN
Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah menyelesaikan artikel Situs Gunung Bitung adalah:
1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang peninggalan budaya
2. Lebih meningkatkan kepedulian akan pentingnya melestarikan peninggalan sosial budaya
3. Menjaga dan mengembangkan nilai-nilai yang telah diwariskan sebelumnya
GUNUNG BITUNG :Fhoto diambil dari Jl Cikondang Desa Cikijing Kecamatan Cikijing Kab Majalengka (14 Mart 2017) |
II PEMBAHASAN
2.1 Letak Situs Gunung Bitung
Situs Gunung Btung terletak di Kampung Gunung Bitung , Desa Wangkelang Kemantren Cingabul Kecamatan Cikijing, (Sejak diberlakukannya undang undang penghapusan kemantren di Jawabarat, maka Kemantren Cingambul kini menjadi Kecamatan Cingambul ) Kabupaten Majalengka – Jawabarat
berada di koordinat :
07o03’51,18” LS dan 108o19’53,30” BT, pada ketiggian 936m diatas permukaan laut.
Areal Persawahan Penduduk di Desa Wangkelang , merupakan Akses utama menuju ke situs Gunung Bitung |
Situs Gunung Bitung Merupakan situs Peninggalan Budaya Megalitikum berbentuk Punden Berundak (Punden = tempat suci / bertapa , Berundak = bentuk bangunan tanah yang disengaja dibuat berundak undak atau seperti terasering ), yang sangat penting dan erat kaitannya dengan berdirinya Kerajaan Talaga.
Asal usul nama Gunung Bitung berasal dari : Gunung = tempat berbukit , Bitung = salah satu jenis bambu yang tumbuh subur di tempat tersebut , jadi gunung bitung adalah tempat berbukit yang banyak ditumbuhi pohon bambu bitung
Pohon Bambu Bitung (dendrocalamus asper) , yang tumbuh subur , karena itulah tempat ini dinamakan GUNUNG BITUNG |
2.2 Pendiri dan Fungsi Situs Gunung Bitung
Menurut tradisi, Situs Gunung Bitung adalah sebuah tempat pengajaran (Padepokan) agama Budha yang diperkirakan dibangun pada abad ke 14 atau sezaman ketika Rahyang Niskala Wastukancana (1371 – 1475) sunda galuh , oleh sorang Resi / Guru bernama Rakeyan çuddhayoccha (Sudhayasa), yang kemudian beliaulah yang menjadi pendiri Kerajaan Talaga.
2..3 Tentang Rakeyan çuddhayoccha (Sudhayasa)
Berdasarkan naskah Kitab Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara (parwa III sargah 2 )
Karya Pangeran Wangsakerta Cirebon (Thn. 1677 M)
..........// sang prabhu a-jighuna linggawiçesa gumantyaken dumadi raja lawasnya pitung warça / ing saharsa limangatus limang puluh lima tika ning saharsa rwangatus nemang puluh rwa / ikang çakakala // ing pasanggaman ira sang prabhu ajiguna linggawiçesa lawan ratu umma lestari maputra pirang siki jalu lawan stri // rwang siki pantaranya ya ta sang panuha ya ta sang prabhu ragamulya luhur prabhawa / atawa sang aki kolot ngaran ira waneh // putra dwitiya ya ta ratu samanta i mandala ghaluh yatiku raden suryadewata / atawa sang mokteng wanaraja i bhumi ghaluh ngaran ira waneh // ya ta pejah ri kala maburu satwa haneng i tengah wana // satulunya putra prathama ya ta prabhu raga gumantyaken rama nira dumadi mamrati i bhumi jawa kulwan salawas ira sapuluh warça / ing saharsa rwangatus nemang puluh rwa tka ning sa harsa rwangatus pitung puluh rwa / ikang çakakala // satuluyna prabhu ragamulya luhur prabawa mmaputra pirang siki rwang siki pantaranya yatiku prabhu maharaja linggabhuana / atawa sang mokteng bubat aranira waneh // dwitiya sang patih mangkubhumi çuradhipati / athawa bunisora / athawa sang mokteng ghegheromas ngaran ira waneh
// i sedeng mangene putra ning raden suryadewata hana pirang siki / salah tunggal pantaranya raden çuddhayoca / athawa bhatara gunung bitung ngaran ira waneh // raden çuddhayoca naher dumadi f dang upasakagóng budhayana sarawastiwada i ghunung bitung // hana pwa putra sang bhatara ghunung bitung raden darmasuci ngaran irakweh pariwara mwang sisya nira // matangyan sira madeg rajaguru budhayana sarwastiwada i mandala talaga sapinasuk galuh pandeça // ri hawusnya prabhu darmasuci pejah ginantyaken dening swaputra nira madeg raja talaga yatiku prabhu talagamanggung ngaran ira // ....
Terjemahan teks yang berwarna merah (kurang lebih) mengisahkan :
Putra raden surya dewata ada beberapa orang, salah satu diantaranya raden sudhayoca (sudhayasa) atau bathara ghunung bitung di sebutnya// raden sudhayasa menjadi pengamal agung budhayana sarwastiwada di ghunung bitung // salah satu putra barthara ghunung bitung adalah raden darmasuci setelah dia berhenti menjadi raja guru budhayana sarwastiwada di negri talaga // setelah darmasuci meninggal maka yang menggantikannya adalah Prabhu Talagamanggung. (Penterjemah . H Asep Deni H.A 05/03/17)
Rakeyan çuddhayoccha adalah putra dari tokoh kerajaan Sunda Galuh yang bernama . Surya Dewata, anak dari penguasa Kerajaan Sunda Galuh Prabhu Ajighuna Linggawisesa.
Rhakeyan çuddhayoccha kemudian meninggalkan keraton untuk mengamalkan sebuah ajaran Budha Sunda Sarwastiwadha, ke sebuah perbukitan di sebelah utara Ibukota Galuh Kawali yang banyak ditumbuhi pohon bambu bitung (sunda : awi bitung). Karena banyak diumbuhi pohon bambu bitung, maka tempat tersebut disebut sebagai “Gunung Bitung” . Disanalah beliau membangun sebuah padepokan dengan nama “Mandala Gunung Bitung”(tempat pengajaran di Gunung Bitung).
Karena kemumpunian Rhakeyan çuddhayoccha dalam mengamalkan ajaran Budha Sarwastiwada , maka para pengikutnya pun memberikan gelar “Dang Upacaka Agong Budhayana Sawastiwada” (Sang Pengajar Besar ajaran Budha Sarwastiwada).
2.4 Penemuan
Perjalana menuju ke puncak gunung bitung dilalui melaui jalan kecil yang berundak undak , disini penulis belum bisa mengidentifikasi berapa bauah undakan dari dasar bukit hingga mencapai puncak tempat punden berundak.
Undakan yang terbuat dari susunan batu kali merupakan jalan menuju ke bangunan suci di puncak Gunung Bitung |
Setelah melewati beberapa undakan dari kaki bukit, selanjutnya terdapat 3 seri undakan utama sebelum menuju puncak bukit.
Sebelum undakan pada seri pertama, tedapat sebuah batu berbentuk trafesium yang tertanam di tanah dan hampir tak terlihat karena tertutup puhon dan daun daun yang berserakan yang disinyalir sebagai gerbang menuju padepokan "Mandala Gunung Bitung."
Batu yang disinyalir sebagai pintu gerbang menuju ke Padepokan Mandala Gunung Bitung |
Hampir semua batas batas undakan tersebut terbuat dari susunan batu kali, yang terdiri dari tujuh undakan, enam masih terlihat jelas dan satu diantaranya hampir tidak terlihat.
Setelah ke tujuh undakan pada seri pertma, terdapat areal yang agak luas, disinyalir sebagai batas undakan seri pertama dengan undakan seri ke dua.
selanjutnya pada seri ke dua d terdapat lagi struktur bangunan berundak lima ,dengan batas undakan terbuat dari susunan batu kali, dari undakan pertama hingga undakan ke empat. Sementara pada undakan ke lima, terdapat satu areal yang luamayan luas, pada undakan ini terdapat kuburan (makam) Raden Kiyai Puterjagat yang merupakan salah satu pengawal Raden Panglurah, putra tertua dari Prabhu Talagamaggung penguasa Kerajaan Talaga yang dilanjutkan pada dua buah undakan ke enam dan ke tujuh sebagai puncak bangunan utama di situs Gunung Bitung.
Makam Raden Kiyai Puter Jagat , salah satu pengawal Raden Panglurah yang terdapat pada undakan ke lima |
Undak utama ke lima sampai undak ke tujuh |
Dan pada akhir undakan (seri ke tiga ) yaitu undakan ke tujuh, yang merupakan inti dari situs ini kini terdapat bangunan sederhana yang isinya “makam” dua orang tokoh yaitu : Raden Batara Babar Buana dan Raden Jamparing Jagat, keduanya ini merpakan Murid Utama dan pengikut setia ajaran Raden Panglurah .
Makam Rd Batara Babar Buana dan Raden Jamparing Jagat murid utama Raden Panglurah pada undakan ke tujuh. |
Pada teras ke tujuh atau puncak gunung ini tidak berbentuk lancip, tetapi merupakan areal dataran yang cukup luas dulunya sebelum ada dua buah makam, terdapat struktur batu datar yang tersusun berdiri membentuk lingkaran, pada tengah areal tersebut terdapat sebuah arca type polynesia. Namun sayang, arca tersebut kini sudah tiada.
Hal ini juga di pertegas oleh Laporan pertama mengenai keberadaan situs ini yang dimuat pada Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan") tahun 1914. Oleh Sejarahwan Belanda, N. J. Krom.
=======================================================================
catatan tambahan 30 November 2019
pada tanggal 5 November 2019 penulis beserta tim peneliti sejarah Talagamanggung menemukan kembali arca (yg diduga) arca type Polinesia yang dirawat (dikeramatkan) di kaki Gunung Bitung Desa Wangkelang Kecamatan Cingambul - Majalengka.
Arca tersebut sekilas menyerupai perwujudan dari tokoh (pawayangan) semar.
tapi entah kenapa. hingga saat ini masyarakat sekitar menyebutnya sebagai patung Monyet (kera)
Arca Type Polinesia yang terdapat di areal Situs Gunung Bitung |
arca tersebut mempnyai dimensi
tinggi 55 cm,
lebar 45 cm
dengan ketebalan 18cm.
========================================================================
Bongkahan bongkahan batu yang tersebar juga banyak ditemukan di belakang bangunan berundak, beberapa batuan belum bisa di identifikasi karena tertutup oleh pepohonan yang rimbun, salah satu bongkahan batu yang terdapat disana adalah “Batu Pangcalikan” (batu kursi). Batu ini dipercaya masyarakat sekitar, sebagai batu tempat duduk Sang Guru Bathara Gunung Bitung ketika memberikan ajaran pada murid muridnya hingga digunakan juga oleh Raden Panglurah sebagai generasi penerus Bathara Gunung Bitung.
BATU PANGCALIKAN (BATU KURSI) |
Bongkahan batu yang tesebar di sebelah barat bangunan punden berundak |
Salah satu bongkahan batu di Gunung Bitung yang menyerupai wajah manusia (?) |
Tepat dibelakang batu batuan tersebut terdapat sebuah tebing yang merupakan pembatas antara bangunan Punden berundak dan lingkungannya . tebing itu diberi nama Kyai Jaga Lawang.
Tebing Kiyai Jagatlawang, merupakan batas antara bangunan suci dan lingkungannya |
Disebelah barat tebing tersebut terdapat sumber mata air yang dikenal dengan nama Tirta Kahuripan.
Diduga kuat , sumber mata air ini lah satu satunya yang menjadi sumber kebutuhan air , para penghuni Padepokan Mandala Gunung Bitung kala itu.
Sumber mata air Tirta Kahuripan Gunung Bitung |
2.5 Naskah Terkait
Kuat dugaan, keberadaan undak bersusun tujuh yang berada d situs Gunung Bitung, kemungkinan besar dilukiskan dalam bagian larik larik teks “Sewaka Darma” yaitu satu naskah lotar sunda kuno yang diperkirakan berasal dari abad ke 16 yang menurut Siksa Kanda ng Karesian berjudul Kawih Panyaraman.
(sumber : Sejarah Kerajaan Talaga oleh Prof. DR Hj Nina Lubis dkk terbitan Yayasan Masyarakat Sejarahwan Indonesia Cab. Jawabarat)
Berikut naskah sewaka darma dan terjemahannya :
Éta nu dipajar dora/
ulah ma dipihidepeun
pageuhan rasa sakedap
460: Hara tan tangankeuneun
nu dipajar pasampangan
nu jalan tujuh patangtung
sampagna maregat lima
jalan sarua ageungna
465: nya di nu iyat yatna
mulah dék ngénca ngatuhu
mulah heubeul sumoréang
adapun yang disebut gerbang
janganlah dijadikan pikiran
teguhkan rasa sejenak
460: perubahan bukan untuk diatasi
yang disebut persimpangan
adalah jalan tujuh mendaki
impangannya bercabang lima
jalan yang sama lebarnya
465: bagi merea yang waspada
jangan kekiri atau kekanan
jangan terlalu lama membayangkan
2.6 Kesimpulan
Gunung Bitung merupakan pusat pendalaman agama, dan menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Talaga yang berpusat di sangiang dan walagsuji.
Situs bangunan berundak di gunung bitung merupakan gambaran kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos. Perjalanan pencapaian menuju bangunan suci di puncak Gunung Bitung, merupakan cerminan tahapan yang harus dilalui oleh seseorang yang akan mencapai Nirwana.
Betapa, untuk mencapai kebahagiaan hakiki, bukan serta merta diperoleh dengan leha leha, akan tetapi memerlukan proses luarbiasa, penuh perhitungan penuh kesemangatan dan harus sesuai dengan aturan yang telah diajarkan.
“ajeg pegeuh dina papagon” (tetap pada pendirian berdasarkan tatan manusia. Cinta alam dan kasih sayang sesama)
PENUTUP
3.1 Humbauan
Sebagai warga negara yang baik, kita wajib mempelajari, melestarikan budaya, dan peninggalan sejarah bangsa. Semakin banyak budaya warisan budaya masa lampau yang bisa digali dan dilestarikan, maka sudah semestinyalah peninggalan budaya tersebut makin dihargai. Jika bukan warga negara Indonesia sendiri yang melestarikan warisan budaya bangsa, lalu siapa lagi.
3.2 Saran :
Ada banyak cara untuk melestarikan warisan budaya bangsa, salah satunya yaitu dengan cara mengamati, mempelajari situs-situs warisan budaya bangsa. Ada banyak sumber yang bisa didapat, melalui buku, internet, dan banyak sumber bacaan lainnya.
3.3 Ucapan Terimakasih
Disampaikan kepada :
1. Para Staf dan Kepala Desa Wangkelang Kecamatan Cingambul Kab Majalengka.
Yang memberikan dokumentasi situs gunung bitung
2. Ibu Prof. DR Hj. Nina Lubis
melalui Buku “SEJARAH KERAJAAN TALAGA”
terbitan Yayasan Masyarakat sejarahwan Indonesia Cabang Jawabarat
3. Bapak Tatang M Amirin (Universitas Negri Yogyakarta) ,
Melalui Melacak Jejak Bujangga Manik (https://www.tatangmanguny.wordpress.com/)
4. Admin grup fb Madjalengka Baheula
5. Padepokan Talagamanggung - Talaga Majalengka
6. Yayasan Talagamanggung - Talaga Majalengka
7. Seluruh Masyarakat Kecamatan Cikijing dan Cingambul
8. Abah Kuncen Situs Gunung Bitung Wangkelang
dan
Seluruh lapisan masyarakat yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
================================================================
Informasi tentang Sejarah & Budaya Talaga - Majalengka
Klik di :
Penulis : Asep AsDHA Singhawinata
punten kang ijin komen. dupi sejarah lengkap na sareung nami2 tokoh na. mugi di tambihan deui.. htr nuhun
BalasHapus